Menyikapi Demo Buruh dengan Bijak
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du:.
Maraknya demonstrasi yang dilakukan oleh para buruh
dalam menuntut haknya perlu ditanggapi dengan bijak. Permasalahan ini
harus dilihat dari dua sisi; dari sisi pemilik usaha atau majikan dan
dari sisi pegawai atau buruh. Dalam tulisan sebelumnya kami telah
membahas permasalahan ini dari sudut pandang kewajiban para pelaku usaha terhadap para pekerja atau buruh mereka, berikut ini adalah pembahasan dari sisi kewajiban para pegawai atau buruh.
Kaidah baku yang menjadi acuan dalam hal ini adalah sebuah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Setiap muslim harus menyesuaikan diri dengan kesepakatan yang
dia setujui. Kecuali kesepakatan yang mengharakan yang halal atau
menghalalkan yang haram.” (HR. at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir).
Seorang mukmin dalam berinteraksi dengan sesama, tidak bisa lepas
dari dua aturan: aturan syariat dan aturan yang dibuat bersama. Keduanya
mengikat, dan tidak boleh saling bertentangan. Jika sampai terjadi
pertentangan, maka aturan syariat, lebih diunggulkan. Sebaliknya, ketika
di sana tidak ada aturan syariat yang mengikat, kedua belah pihak boleh
membuat aturan lainnya sesuai dengan kesepakatan.
Agar lebih mudah dipahami, berikut bebarapa contoh terkait penerapan kaidah di atas. Dalam perusahaan X, ditetapkan aturan bahwa setiap karyawan wajib
masuk jam 08.00, pulang jam 16.00. Anda jangan bertanya, mana dalil
aturan ini? Karena jelas, aturan ini tidak ada dalam Alquran dan sunah.
Meskipun demikian, setiap karyawan yang sepakat dengan aturan ini, wajib
mentaatinya. Karena aturan ini, 100% tidak mengandung unsur
menghalalkan apa yang diharamkan atau mengharamkan apa yang dihalalkan.
Di belahan bumi yang lain, ada perusahaan Z. Perusahaan ini punya
aturan, setiap karyawati wajib melepas jilbab. Jelas aturan ini
bertentangan dengan syariat, karena termasuk menghalalkan apa yang Allah
haramkan. Di bagian inilah, karyawan boleh menuntut perusahaan. Dan
jika pihak perusahaan tidak mengindahkan, tetap memaksa karyawati untuk
lepas jilbab, maka dia wajib keluar dari perusahaan tersebut.
Terkait hak dan kewajiban dalam berinteraksi dengan orang lain,
terkadang ada model manusia yang hanya semangat dalam menuntut hak,
tapi malas dalam menunaikan kewajiban. Perbuatan ini diistilahkan
dengan tathfif, orangnya disebut muthaffif.
Model manusia semacam ini telah Allah singgung dalam Alquran, melalui firman-Nya:
“Celakalah para muthaffif. Merekalah orang yang ketika membeli
barang yang ditakar, mereka minta dipenuhi. tapi apabila mereka menakar
atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al-Mutaffifin: 1 – 3).
Cerita ayat tidak sampai di sini. Setelah Allah menyebutkan sifat
mereka, selanjutnya Allah memberi ancaman keras kepada mereka. Allah
ingatkan bahwa mereka akan dibangkitkan di hari kiamat, dan dilakukan
pembalasan setiap kezaliman.
Para ulama ahli tafsir menegaskan bahwa makna ayat ini bersifat muta’adi. Artinya, hukum yang berlaku di ayat ini tidak hanya terbatas untuk kasus jual beli.
Tapi mencakup umum, untuk semua kasus yang melibatkan hak dan
kewajiban. Setiap orang yang hanya bersemangat dalam menuntut hak, namun
melalaikan kewajibannya, maka dia terkena ancaman tathfif di ayat ini. (Simak Tafsir As-Sa’di, hal. 915).
Seorang atasan yang hanya bisa menuntut kewajiban pegawai atau
buruhnya, sementara malas dalam memberikan hak mereka, maka dia terkena
ancaman tathfif. Sebaliknya, pegawai atau buruh yang hanya
semangat menuntut haknya, sementara malas dalam menunaikan kewajibannya,
maka dia terancam dengan ayat ini.
Mungkin Anda pernah atau bahkan sering menjumpai ada pegawai, buruh, dan pekerja lainnya yang ketika bekerja
nuansanya malas, datangnya telat, pulangnya lebih cepat, banyak
nganggur sementara pekerjaan menumpuk, mengolor waktu istirahat, dst.
namun di saat musim gaji, tidak boleh telat, harus tepat waktu, tidak
boleh ada yang kurang, harus penuh, harus ada bonus, harus ada tunjangan
ini, itu, harus…harus… dst… siapa pun dia, baik pegawai swasta, pns,
dimanapun berada, jika semangat semacam ini yang dia miliki,
berhati-hatilah, bisa jadi dia terkena ancaman tathfif.
Selanjutnya Anda bisa memahami bahwa disamping Anda berhak untuk
mendapatkan apa yang menjadi hak Anda, perlu juga Anda ingat bahwa Anda
punya kewajiban. Baik kewajiban terkait aturan kerja, kewajiban terkait
kuantitas kerja, maupun kualitas pekerjaan Anda. Semua aturan yang
diterapkan di perusahaan Anda, selama tidak melanggar aturan syariat,
itulah kewajiban yang harus Anda penuhi.
Jika Anda menuntut mereka untuk menjadi majikan yang baik, tuntutlah
diri Anda sendiri untuk menjadi pegawai yang baik. Semoga Allah
memberkahi kita semua.
Allahu a’lam
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar