Jumat, 27 Januari 2012

Realita Pengupahan

Azhari F Ardinal – Wasekjen DPP LEM SPSI
Kawasan Berikat Nusantara kembali memanas dengan aksi para buruh pabrik terhadap upah. Ini bukan yang pertama kalinya kawasan penghasil Tekstil ini bergejolak dan menjadi sorotan tajam tapi minim publikasi. Di antara negara pengeksport Garmen terbesar di dunia, Indonesia termasuk didalam negara yang ikut dalam pusaran kompetisi upah untuk meraih kapitalisasi global dengan mengorbankan aset manusia.
Bicara masalah upah maka kita harus lebih dahulu menyamakan standar penilaian kita pada nilai KHL yang merupakan hasil survey bersama dari unsur pekerja. Nilai KHL adalah nilai yang sangat minimal sekali dari kebutuhan hidup masyarakat. Akan tetapi fakta menggambarkan bahwa upah Riil di sektor Industri manapun di Indonesia selalu berada dibawah upah nominal dan KHL. Pergolakan yang terjadi di kawasan ini mungkin hanya akan menjadi riak kecil yang tidak akan berpengaruh besar terhadap persepsi pengusaha terhadap upah, Walaupun yang diperjuangkan oleh rekan-rekan kita di KBN adalah masalah upah layak. Ini disebabkan oleh posisi tawar buruh yang lemah dalam hal negoisasi.
Sementara negoisasi adalah proses advokasi yang harus dibangun atas pengetahuan yang komprehensif tentang upah itu sendiri. Maka mari kita fahami apa yang sebenarnya dinamakan dengan upah. Upah adalah hak yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pekerja sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Pendefinisian yang sederhana ini menjadi lebih rumit saat penilaian tentang upah ini telah masuk kedalam ranah kebutuhan dan keinginan. Dimana terjadi ketidakcukupan upah yang diterima dengan kebutuhan standar hidup layak dari sisi pekerja dan pembebanan arus kas perusahaan terkait peningkatan upah dari sisi pemberi kerja.
Lebih kongkritnya pekerja menilai dari kacamata sosial sedang pengusaha menilai dari kaca mata ekonomi. Dan apabila terjadi suatu situasi yang memberatkan satu sisi dari sisi yang lain maka terjadilah ketidakseimbangan siklus industrial yang akan akan berakibat pada reaksi yang kontraproduktif. Fakta yang kita lihat contohnya di industri Garmen apakah terjadi pemogokan yang merugikan perusahaan atau pemilik merk garmen merelokasi produk mereka ke tempat lain yang mengakibatkan PHK massal, Adalah bukti dari ketidakseimbangan siklus industrial yang membuat bangsa ini terpuruk dari sisi ekonomi dan sosial.
Pemerintah yang seyogyanya berperan sebagai regulator dan penyeimbang hubungan industrial ini seakan menyerahkan masalah ini kepada pasar. Ini bisa kita lihat dari lemahnya pengawasan dan penegakan hukum atas pelanggaran yang terjadi di kawasan industri. Dalam regulasinya pengupahan sendiri ditetapkan berdasarkan penilaian yang mencakup faktor besarnya Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di masing-masing daerah, faktor produktivitas makro, faktor pertumbuhan ekonomi dan faktor kondisi pasar kerja dan usaha yang paling tidak mampu.
Nilai KHL sendiri diperolah melalui survey yang dilakukan unsur tripartit dalam dewan pengupahan yakni Pemerintah, Apindo, serta buruh. Sampai saat ini konsep dan kebijakan upah minimum provinsi yang ada merupakan upah terendah yang diperuntukan bagi pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari satu tahun dan ini sebagai jaring pengaman sosial bagi para pekerja. Dimana ada 45 komponen dalam perhitungan Kebutuhan Hidup Layak bagi Pekerja Lajang dalam sebulan. Ke 45 komponen tersebut meliputi ; Beras, Sumber Protein, Tahu tempe, Susu Bubuk, Gula Pasir, Muinyak Goreng, Sayuran, Buah-buahan, Karbohidrat, Teh/Kopi, Bumbu-bumbu, Celana Panjang/Rok, Kemeja/Blouse, Kaos Oblong/BH, Celana Dalam, Sarung, Kain Panjang, Sepatu, Sandal Jepit, Handuk Mandi, Perlengkapan Ibadah, Sewa kamar, Dipan/tempat tidur, Bantal Kasur, Sprei/Sarung Bantal, Meja dan Kusri, Lemari Pakaian, Sapu, Perlengkapan Makan, Ceret Aluminium, Wajan Aluminium, Panci Aluminium, Sendok Masak, Kompor Minyak Tanah, Minyak Tanah, Ember Plastik, Listrik, Lampu Pijar/neon, Air Bersih, Sabun Cuci, Bacaan/Radio, Sarana Kesehatan, Obat Anti Nyamuk, Potong Rambut, Transport Kerja, Rekreasi, dan Tabungan yang diperhitungkan 2 % dari Nilai 1 s/d 45. Tapi dari sekian banyak komponen ini banyak yang harus disesuaikan atau perlu ditambah atau bahkan harus diperjelas seperti tentang volume dan kualitas barangnya. Mengingat saat ini banyak sekali jenis kualitas, baik di sektor Barang maupun Jasa. Kualitas Baik, Sedang harus benar-benar diperjelas. Sebab kalau tidak diperjelas akan menimbulkan multi tafsir diantara pihak yang berujung pada terjadinya perbedaan persepsi dan tidak adanya kesepakatan.
Harus diakui oleh buruh juga bahwa pergantian tahun menjadi harapan akan penetapan upah minimum yang baru untuk menggantikan upah yang lama. Akan tetapi substansi harapan buruh harus menjawab solusi kondisi kehidupan buruh yang faktanya tetap saja harus hidup sederhana atau bahkan tetap mengencangkan ikat pinggang karena realita sistem pengupahan buruh di Indonesia yang tidak seimbang dengan kenaikan harga kebutuhan pokok di pasaran. Dewan Pengupahan yang saat ini menjadi representasi semua pihak harus mampu menemukan solusi itu dengan mengkaji kembali sistem upah yang layak bagi pekerja sebelum memberi rekomendasi penetapan upah minimum. Dewan Pengupahan pada saat melaksanakan survei pasar terhadap KHL harus melihat tidak dalam kaca mata ekonomi saja tapi juga nilai sosial yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Bagi serikat pekerja yang saat ini menjadi pelopor aksi masa dalam menyuarakan kepentingan buruh ini harus mampu melihat dan mengadvokasi ini secara sistematis. Bersikap aktif bukan reaktif sehingga target pencapaian aksi buruh itu benar-benar mampu memberikan perubahan yang signifikan bagi pengupahan itu sendiri. Apa yang bisa di lakukan gerakan serikat pekerja saat ini adalah melalui Federasi atau Konfederasinya mampu bertransformasi kegerakan yang lebih integral dan politis. Karena kebijakan apapun yang dibangun harus dengan pendekatan politis. Diantaranya adalah dengan meminta pemangku kebijakan tertinggi di negri ini untuk menetapkan nilai upah minimum sama dengan nilai (100%) Kebutuhan Hidup Layak sesuai amanat Undang-undang No. 13 tahun 2003.
Kemudian meminta Menteri Tenaga Kerja untuk membuat peraturan menteri (permen) tentang struktur dan skala upah. Sehingga pekerja/buruh (karyawan tetap) yang bermasa kerja diatas 1 tahun mempunyai upah diatas nilai Kebutuhan Hidup Layak dengan memperhatikan pendidikan, masa kerja, pengalaman, dan kemampuan (skill/produktifitas). Dan tentunya dengan mengajukan pembuatan Undang-undang pengupahan, yang mengatur bahwa upah yang diterima pekerja/buruh dan masyarakat harus dapat memenuhi daya beli (purchasing power). Sehingga masyarakat tidak lagi berhutang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Jadi, bila upah pekerja/buruh dan masyarakat nilainya sama atau lebih dari nilai Kebutuhan Hidup Layak sesuai sebagaimana paparan diatas, maka daya beli masyarakat tetap terjaga yang berarti juga industri/pabrik tetap berproduksi. Kebaikan yang tidak terorganisir dengan baik itu niscaya akan hancur dan tak berdaya dihadapan kezaliman yang terorganisir dengan rapi. Maka perlu ada kesatuan sikap dari pekerja tanpa melihat baju federasinya untuk berjuang secara tulus untuk mewujudkan pekerja dengan upah layak bagi pekerjaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar